GUGAT news.com SOLO
Oleh: Advokat Joseph H. Marseli, S.Th., S.H.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang PERADIN Surakarta
Beberapa waktu terakhir, publik dihebohkan oleh tindakan penutupan sementara salah satu rumah makan legendaris di Kota Solo, Ayam Goreng Widuran. Penutupan ini dilakukan menyusul dugaan bahwa salah satu produk makanan yang disajikan—yakni kremes ayam—mengandung minyak babi, sehingga dianggap tidak halal bagi konsumen Muslim.
Tindakan ini disebut merupakan hasil asesmen dari Kementerian Agama bersama OPD terkait Pemerintah Kota Solo. Sekilas, langkah tersebut tampak menunjukkan kepedulian terhadap konsumen Muslim. Namun secara hukum, tindakan penutupan sebuah tempat usaha, tidak dapat serta-merta dibenarkan hanya berdasarkan dugaan atau tekanan sosial, apalagi tanpa bukti yang sah dan prosedur hukum yang jelas.
Konsultan Spiritual Islam Solusi Segala Problema. Nikah Siri, Rukyah dll. Hub : A.A.Yani 081325995968
Negara Hukum: Keadilan Bagi Semua
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Itu berarti, setiap tindakan pemerintahan—terutama yang membatasi hak warga negara, seperti hak untuk berusaha—harus berdasarkan hukum tertulis dan dilakukan sesuai dengan prosedur. Tidak cukup bermodal semangat keagamaan atau persepsi mayoritas.
Tinjauan Wewenang: Antara Kemenag dan Pemkot
Kementerian Agama melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), sesuai UU No. 33 Tahun 2014, memang memiliki kewenangan dalam pembinaan, edukasi, dan pengawasan produk halal. Namun tidak memiliki wewenang administratif untuk menutup usaha.
Demikian pula, OPD di tingkat daerah, termasuk Satpol PP dan Dinas Perdagangan atau Dinas Kesehatan, hanya dapat melakukan tindakan administratif seperti penutupan sementara jika ditemukan pelanggaran nyata terhadap izin usaha, peraturan daerah, atau standar sanitasi. Itu pun harus melalui pemeriksaan formal, berita acara resmi, dan hasil uji laboratorium.
Tanpa bukti sah, tindakan penutupan seperti yang terjadi pada kasus ini berpotensi dikategorikan sebagai tindakan maladministrasi, atau bahkan pelanggaran hak konstitusional warga negara.
Belum Halal ≠ Haram
Dalam pandangan hukum, penting untuk membedakan antara produk yang belum tersertifikasi halal dan produk yang terbukti haram. Ketiadaan sertifikat halal bukan berarti otomatis haram. Harus ada bukti sah, hasil laboratorium, atau terbukti unsur penyesatan (misalnya label halal palsu) diperlukan untuk bisa mengambil langkah hukum atau tindakan sanksi administratif lebih jauh.
Lex Specialis Tidak Menjustifikasi Sewenang-wenang
Bahwa UU Jaminan Produk Halal dan perlindungan konsumen adalah lex specialis. Namun prinsip lex specialis derogat legi generali tidak boleh menjadi alat pembenar tindakan yang melanggar prinsip hukum administrasi umum, seperti asas legalitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas.
Rekomendasi: Edukasi, Bukan Eksekusi
Daripada menutup tempat usaha sementara, Pemerintah setempat seharusnya:
1. Menyampaikan klarifikasi dan pembinaan kepada pelaku usaha;
2. Melibatkan laboratorium pengujian resmi dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH);
3. Menghindari tekanan publik yang dapat mempengaruhi objektivitas penegakan hukum.
Penutup
Menjaga halal adalah tanggung jawab moral. Tapi menegakkan hukum secara adil dan terukur adalah kewajiban konstitusional. Pemerintah perlu berhati-hati agar tidak menjadikan tekanan publik sebagai alasan untuk mengabaikan hak-hak hukum pelaku usaha.
Hukum harus menjadi pelindung semua pihak: umat beragama, konsumen, maupun pelaku usaha. Kita semua ingin makanan halal, tapi jangan sampai dalam prosesnya kita menyajikan ketidakadilan.#P Wanto
Thanks for reading Opini Publik : Menjaga Halal Menegakkan Hukum | Tags: Hukum
« Prev Post
Next Post »