iklan



FOKUS

Tahta dan Ujian Para Kiai

Oleh: Yuliantoro

Pada 1926, ketika para kiai berkumpul di Surabaya, mereka tidak sedang mengejar akses kekuasaan atau proyek negara. Mereka merumuskan Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyah diniyyah ijtima’iyyah, organisasi keagamaan dan sosial untuk membentengi aqidah dan memberdayakan umat. NU lahir dari etos zuhud pesantren—ruh perjuangan yang lebih mencita-citakan ridha Allah daripada legitimasi politik. Dalam catatan Greg Fealy melalui Islamic Radicalism in Indonesia: The Rise of Jemaah Islamiyah (ISEAS, 2004), DNA awal NU bukan perebutan negara, melainkan penjaga tradisi, otoritas keagamaan, dan moral publik.

Namun hampir seabad kemudian rumah besar itu terguncang. Syuriah PBNU meminta Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf mundur dengan berbagai alasan yang saling bersilangan: tata kelola keuangan, independensi ideologis, serta keputusan politik yang dinilai melampaui garis organisasi. Ketua Umum menolak mundur dengan landasan mandat muktamar. Bagi publik, situasi ini bukan sekadar beda tafsir organisatoris, tetapi perebutan otoritas. Pertanyaan yang lebih mendalam bukan tentang siapa benar atau siapa salah, melainkan mengapa kursi itu kini begitu diperebutkan.

Sejak dulu para ulama mengingatkan, ada tiga godaan yang membuat manusia tergelincir: harta, tahta, dan wanita. Nabi bersabda, “Dunia itu hijau dan manis… maka berhati-hatilah terhadap dunia dan terhadap wanita.” (HR. Muslim). Dalam Ihya’ Ulumuddin, Imam al-Ghazali menggambarkan cinta kekuasaan sebagai penyakit hati paling tersembunyi karena mampu menyamar sebagai niat kebaikan. Ibn Atha’illah dalam al-Hikam juga menegaskan bahwa dunia bukan musuh, tetapi ujian; ia hanya membinasakan ketika menjadi tujuan, bukan jalan menuju Allah. Maka yang dikhawatirkan dari hiruk-pikuk NU hari ini bukan kedekatannya dengan politik, melainkan politik yang bergeser menjadi ajang pemenuhan hasrat duniawi, menggeser adab ulama menjadi perilaku elite kekuasaan.

Reformasi mempercepat transformasi itu. Penelitian Burhanuddin Muhtadi dalam Voting Behavior in Indonesia (NUS Press, 2019) menunjukkan basis kultural NU adalah modal elektoral paling besar dalam politik Indonesia. Marcus Mietzner (ANU, 2020) menegaskan NU berperan sebagai broker politik penting antara negara dan pemilih Muslim. Kedekatan ini membawa akses pada sumber negara, peluang program, dan afirmasi umat. Namun bersamaan dengan itu muncul risiko: NU bergeser dari moral force menjadi pasar elektoral. Robin Bush dalam Nahdlatul Ulama and the Politics of Religious Authority (ISEAS, 2009) menggambarkan bahwa pasca-Orde Baru NU berubah menjadi arena kontestasi elite, bukan sekadar lembaga dakwah dan pendidikan sosial keagamaan. Di banyak wilayah, perebutan jabatan struktural NU layaknya pemilu miniatur, lengkap dengan logistik, lobi, dan dukungan politik negara.

Padahal Muktamar Situbondo 1984 telah menegaskan NU sebagai organisasi sosial-keagamaan, bukan partai politik. Politik tetap penting tetapi harus dijalankan melalui advokasi etik, bukan perebutan jabatan struktural. Prinsip ini menjadi fondasi moderatisme NU dalam lanskap demokrasi. Namun dua dekade terakhir garis batas itu semakin kabur. Bukan karena NU masuk politik—itu historis dan rasional—melainkan karena politik masuk NU dan menggerus otonomi moralnya. Azyumardi Azra dalam esei Islam Nusantara dan Demokrasi Indonesia (2016) memperingatkan bahwa Islam moderat akan runtuh ketika subordinasi pada kekuasaan menghilangkan independensi etisnya.

Di tengah situasi hari ini, pertanyaannya bukan sekadar apakah konflik dapat diselesaikan secara organisatoris, tetapi apakah proses penyelesaiannya mencerminkan adab ulama atau strategi politisi. Dalam teori moral community ร‰mile Durkheim, institusi keagamaan tidak runtuh karena serangan luar, tetapi karena hilangnya legitimasi dari dalam. Dengan kata lain, bahaya terbesar NU bukan gempuran ideologi eksternal, melainkan erosi moral internal.

Para pendiri NU tidak anti-kekuasaan. Mereka memandang kekuasaan sebagai alat kemaslahatan, bukan trofi. Yang mereka jadikan kompas adalah ilmu, adab, dan orientasi akhirat. Jika NU ingin kembali pada marwah itu, ia perlu menghidupkan kembali tradisi kepemimpinan berbasis ilmu dan tazkiyatun nafs, bukan orientasi jabatan; memperkuat tata kelola bersih dan transparan sebagaimana prinsip good governance yang ditegaskan UNDP (1997); serta meneguhkan diri sebagai kekuatan moral bangsa, bukan sekadar mesin elektoral. NU kuat bukan karena jumlah massa, melainkan karena keteguhan etik yang menggerakkan massa itu.

Kisruh hari ini bukan akhir, tetapi ujian. Dan ujian hadir bukan untuk melemahkan, melainkan menaikkan derajat. NU memiliki peluang menunjukkan bahwa organisasi Islam terbesar di dunia dapat menyelesaikan konflik dengan adab ulama, bukan kalkulasi kuasa. Dunia boleh menggoda, jabatan boleh diperebutkan, tetapi warisan para kiai lebih mulia: pengabdian, bukan perebutan; akhirat sebagai orientasi, bukan dunia sebagai mahkota. ***

*) penulis lepas - alumnus Sosiologi UGM





BACA JUGA

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1











Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close