iklan



FOKUS

Ada Asmara di Jogja - Romansa Yang Tak Pernah Usai di Kota Pelajar


 AM Lilik Agung - cerpenis Jogja melaunching buku Ada Asmara di Jogja di Sekolah Vokasi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Sabtu (6/12/25)

GUGAT news.com JOGJAKARTA 

Cinta selalu menemukan jalannya—dan bagi sastrawan AM Lilik Agung, jalan itu kembali ke Yogyakarta. Kota yang tak henti dirayakan lewat puisi dan kerinduan ini menjadi panggung utama kumpulan cerpen terbarunya, Ada Asmara di Jogja. Buku yang berisi 14 kisah ini bukan sekadar romansa, melainkan perjalanan batin tentang ruang, waktu, dan manusia yang terus belajar mengingat.

Peluncuran sekaligus bedah buku berlangsung hangat di Sekolah Vokasi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Acara ini berbeda dari lazimnya peluncuran karya sastra: kursi pembicara justru diisi tokoh lintas profesi—Irjen Pol R. Yoseph Wihastono, Prof. Heru Kurnianto Tjahjono, dan Prof. Anwar Sanusi, dengan Fitri Damayanti Berutu sebagai moderator. Hadir pula  Nunung Rieta yang membacakan salah satu cerpen dengan dramatika menyentuh, seolah membawa audiens masuk ke ruang batin tokoh-tokoh yang ditulis Lilik.

Di tengah acara, kesaksian Irjen Pol Yoseph Wihastono menghadirkan momen paling emosional. Ia membuka kembali memori masa kecilnya bersama Lilik saat mereka bertetangga di Prawirodirjan, Yogyakarta. Di kampung itu berdiri sebuah perpustakaan kecil yang menjadi pintu pertama bagi Lilik berkenalan dengan literatur bermutu.

“Dari perpustakaan kampung itulah semua ini bermula,” ujarnya penuh haru.


Irjen Pol R. Yoseph Wihastono salah satu pembicara dalam launching buku Ada Asmara di Jogja

Dari ruang sederhana dengan rak kayu dan buku-buku sumbangan warga, benih literasi itu tumbuh. Sentuhan kecil yang kelak menentukan jalan hidupnya sebagai penulis.

Perjalanan kreatif Lilik diperkaya bacaan-bacaan yang membentuk kedalamannya: Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata, Kafe Opera karya Bondan Winarno, serta novel-novel urban Bre Redana. Referensi itu membentuk gaya narasinya: mengalir, reflektif, dan lembut, namun kokoh dalam memotret pengalaman manusia.

Menurut Prof. Heru Kurnianto Tjahjono, keunikan Lilik terletak pada caranya memosisikan diri sebagai “warga dunia”. Meski hidup di banyak negara, pusat gravitasi emosionalnya tetap Jogja. Pengalaman global itu dipadatkan dalam kisah-kisah yang subtil namun kuat menggugah ruang imajinasi pembaca.

Sementara Prof. Anwar Sanusi menyebut karya Lilik memiliki daya jelajah lintas generasi—mampu berbicara kepada pembaca milenial maupun Gen Z. Bahasa yang cair dan naratif membuat pembaca merasa diajak berjalan dari satu sudut kota ke sudut lainnya, menyaksikan cinta dan luka tumbuh bersama waktu.

Ada Asmara di Jogja menjadi buku kelima setelah Manusia Urban, Starbucks Kafe Suatu Senja, Orang-orang Kampus, dan Awan. Banyak cerpen di dalamnya pernah menghiasi halaman media nasional—Kompas, Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Harian Merdeka, Solopos, hingga Majalah Hidup—sebuah bukti konsistensi dan ketajaman observasinya.

Pengamat pendidikan J. Sumardianta bahkan mengaku terinspirasi oleh energi kreatif Lilik:

“Bergaul dengannya saja sudah menjadi motivasi untuk menulis.”

Selain sebagai sastrawan, AM Lilik Agung dikenal sebagai trainer SDM, konsultan manajemen, dan kolumnis bisnis. Pengalamannya berinteraksi

dengan berbagai kultur dunia memperkaya sudut pandang penulisannya. Namun apa pun jarak geografisnya, ia selalu pulang pada Jogja—rumah batin yang merawat memori, luka, dan roman.

Membaca cerpen-cerpennya seperti menonton film dengan langkah pelan, halus, namun meninggalkan jejak panjang. Dan ketika halaman terakhir ditutup, kita sadar bahwa:

Setiap orang memiliki Jogja-nya sendiri—tempat di mana cinta tidak pernah benar-benar selesai. (Tor)



BACA JUGA

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1











Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close