Ngalap Berkah, Menghidupkan Spiritualitas Yang Hilang

September 15, 2025
Senin, 15 September 2025


 Makam Syekh Jangkung di Lendah, Kulon Progo, Yogyakarta 

Oleh: Mastor Yuliantoro

Di banyak sudut Nusantara, makam para waliyullah selalu dipadati peziarah. Dari pesisir utara Jawa, lereng gunung di pedalaman, hingga pusat kota yang sibuk, pusara orang-orang saleh itu menjadi titik perjumpaan antara manusia dengan dirinya sendiri. Di balik doa dan taburan bunga, terselip keyakinan tua yang tak pernah padam, 'ngalap berkah', mencari limpahan rahmat Allah melalui jejak kehidupan wali-wali-Nya.

Ziarah kubur dalam Islam sesungguhnya bukan sekadar ritual turun-temurun. Ia adalah perjalanan batin yang menghadapkan manusia pada kefanaan. Rasulullah SAW bersabda, “Dulu aku melarang kalian berziarah kubur. Sekarang berziarahlah, karena ia akan mengingatkan kalian kepada akhirat.” (HR. Muslim).


Di depan nisan, manusia diajak menundukkan ego, melepaskan kesombongan, dan mengingat bahwa kehidupan hanyalah persinggahan.
Al-Qur’an menegaskan pentingnya meneladani orang-orang saleh. “Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” (QS. Al-An‘am: 90). 

Para wali adalah teladan hidup yang nyata—mereka menjalani laku spiritual, menebar ilmu, menyalakan cahaya iman di tengah masyarakat. Karena itu, tabarruk atau ngalap berkah bukanlah meminta kepada wali, melainkan berharap kepada Allah yang memuliakan wali tersebut. Seperti diingatkan KH Ahmad Mustofa Bisri, esensi tabarruk adalah menyerap spirit kebaikan, bukan mengultuskan pribadi.
Tradisi itu menemukan bentuknya yang khas di tanah Jawa. 

Nama-nama besar seperti Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, Syekh Maulana Malik Ibrahim, Syekh Maulana Maghribi hingga Habib Anis bin Alwi bin Ali Alhabsyi bukan hanya bagian dari sejarah dakwah, melainkan juga simpul spiritual yang hingga kini hidup dalam kesadaran masyarakat. Di Kadilangu, Demak, ribuan orang datang setiap hari ke makam Sunan Kalijaga, seolah mencari resonansi dari dakwah yang penuh kelembutan, Islam yang merangkul budaya, bukan menafikannya. Di Gresik, pusara Maulana Malik Ibrahim menjadi saksi mula perjumpaan Islam dan Jawa, tempat peziarah merenungkan ketekunan dakwah yang berawal dari laku hening.

Tidak berhenti pada Wali Songo, jejak para ulama karismatik abad modern juga menjadi magnet spiritual. Di Gunung Pring, Magelang, misalnya, makam KH Nachrowi Dalhar bin KH Abdurrahim senantiasa ramai. Para peziarah merasa teduh di tengah suasana pesantren yang masih memelihara warisan beliau, ilmu, akhlak, dan kasih sayang. Kehidupan para wali, dari abad ke-15 hingga ke-20, membentuk jalinan panjang tradisi kesalehan yang menuntun umat melewati zaman.

Ziarah ke makam wali, karena itu, bukanlah lari dari realitas modern, melainkan cara menghadirkan kembali keseimbangan batin. Di tengah dunia yang kian terobsesi pada materi, makam wali menjadi ruang jeda. Tempat manusia menenangkan diri, merawat ingatan bahwa hidup adalah perjalanan pulang, dan jalan pulang itu membutuhkan teladan.

Spiritualitas ziarah tidak pernah usang. Ia mengajarkan bahwa keberkahan hidup sejati datang hanya dari Allah, dan para wali adalah lentera yang menerangi jalan ke arah-Nya. Ngalap berkah, dalam makna terdalamnya, adalah upaya memperbarui kesadaran—bahwa di balik hiruk-pikuk dunia, selalu ada cahaya Ilahi yang bisa kita rengkuh lewat teladan kesalehan. ***

aktivis ziarah kubur waliyullah





Thanks for reading Ngalap Berkah, Menghidupkan Spiritualitas Yang Hilang | Tags:

Next Article
« Prev Post
Previous Article
Next Post »

TERKAIT

Show comments
Hide comments

0 Comments on Ngalap Berkah, Menghidupkan Spiritualitas Yang Hilang

Posting Komentar