Tampak khusyuk GKR Wandansari, GKR Indriyah, GKR Timur Rumbai saat melakukan ritual larungan atau labuhan Amangkurat Agung di Pantai Parangkusumo, Bantul, Jogjakarta.
GUGAT news,com, SOLO
Kepada GUGAT news yang menjumpai di Bangsal Paseban, tempat untuk istirahat sebelum dan sesudah berziarah ke makam Ki Ageng Henis di Pasareyan Ndalem Ki Ageng Henis Laweyan, salah satu Putra Ndalem Sinuhun Paku Buwono (PB) XII Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, beliau Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puger menegaskan jika selama ini kegiatan ritual spiritual Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat akan gelar larungan atau labuhan ke Laut Kidul Parangkusumo, malahan jauh menghindari dari kemusyrikkan, menyekutukan Allah SWT. Senin (7/10) siang.
Selama ini, lanjut Gusti Puger, panggilan akrab GPH Puger, banyak orang yang menafsirkan, mengartikan dan memiliki pandangan miring terhadap kegiatan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dalam hal ini upacara larungan atau labuhan, membuang rambut, kuku sekaligus ageman pakaian raja, untuk kali ini Sinuhun PB XIII Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Bahkan yang dibuang atau dilarung serta dilabuh ke Laut Selatan itu bukan hanya busana milik Sinuhun saja, melainkan banyak yang lainnya. Selama barangnya sudah rusak dan tidak terpakai ya dibuang. Lain halnya kalau masih bisa dirawat sebagai peninggalan peradaban sejarah ya disimpan atau untuk kegiatan di museum.
Justru, malahan, masih menurut penuturan Gusti Puger, ritual larungan atau labuhan ini cara halus dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat untuk mengambil langkah tegas dan agar supaya kesemuanya terhindar dari dosa syirik, musyrik menyekutukan Gusti Kang Murbeng Dumadi Akaryo Jagad, Allah SWT, bisa dipastikan lagi dosa besar yang tidak bisa diampuni. Sehingga dengan cara larungan, barang bekas milik Sinuhun PB XIII dibuang di laut. Hal itu dimaksudkan agar tidak diambil dan diketemukan oleh orang-orang untuk tujuan tertentu. Jimat, khususnya semacam piyandel. Keyakinan jika benda memiliki kekuatan gaib tersendiri, inilah Musyrik.
"Sehingga bisa beberapa kali Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat melakukan Larung Agung, membuang barang barang milik Sinuhun yang sudah tidak terpakai untuk dibuang ke laut agar tidak diambil siapapun untuk kepentingan maksiat, jimat. Inilah yang kami hindari dengan maksud larungan itu, biar dibuang ke laut dan tidak ada yang bisa mengambil. Kalau perlu itu ditakut takuti agar tidak berani ambil. Misalkan, dikatakan kepada mereka jika mengambil justru kualat kena halad, sehingga tidak berani mengambilnya untuk kepentingan lain, yang kebanyakan jimat karena bekas milik raja yang diyakini mempunyai kemampuan gaib. Inilah maksudnya dibuang atau dilarung,"jelas GPH Puger.
Kalau saja diberikan, masih menurut pemaparan Gusti Puger, meski barangnya saja sudah rusak dan tidak bisa dipergunakan, mereka tetap berkenan menerima lantaran pemberian dari seorang raja. Intinya, larungan, labuhan itu membuang barang bekas milik raja yang sudah rusak dan tak bisa dipakai lagi ke laut agar tidak menjadikan jimat dan syirik. Sebenarnya bukan hanya di laut saja, boleh di buang ke sungai, ke Sungai Bengawan Solo atau dibakar saja. Hanya saja, untuk dibakar tidak bagus menurut perhitungan Jawa. Ya sudah dilarung saja.
Lebih jauh ditegaskan oleh Gusti Puger, selain barang juga makanan. Hanya saja makanan yang dibuang ke laut atau sungai, itu bukanlah makanan yang enak dimakan. Semisal dupa, kemenyan atau puluhan jenis bunga sebagai wewangian di sela-sela ulama keraton berdoa, kesemuanya itu dilarung, dilabuh dan pastinya tidak dimakan. Yang dimakan dan diminum, makanan yang selesai didoakan dan enak, layak dimakan dan diminum ya kita makan. Setelah selesai didoakan, digelarlah umbul bujono, makan bersama. Putra Putri Ndalem, kerabat Ndalem, Sentana Ndalem dan abdi dalem.
" Sekali lagi, larungan, labuhan baik ke laut maupun ke sungai yang dilakukan oleh Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, itu justru cara halus untuk menghindar, menjauh dari perbuatan dosa besar, kemusyrikkan. Kepada pengunjung, sebaiknya cukup melihat saja itu acara kebudayaan bukan keagamaan dan tak perlu berebut labuhan. Kalau diberi makan yang enak dimakan, ya dimakan saja. Seperti belum lama ini, Gusti Mung gelar Larungan Agung Amangkurat Agung putra Sultan Agung, yang hanya berdoa dan makan. Dupa, kemenyan dan puluhan jenis bunga di buang ke laut. Intinya, larungan itu justru mencegah syirik!"tegas GPH Puger, menutup obrolan nya dengan GUGATnews. # Yani.