iklan



FOKUS

Menjaga Cahaya Ilmu Ditengah Zaman Kisah Perjalanan Intelektual Prof Dr Mochamad Sodik


 Prof. Dr. Mochamad Sodik di ruang kerja nya Warek II UIN Sunan Kalijaga

GUGAT news.com YOGYAKARTA 

Di balik sosok tenang dan tutur lembutnya, tersimpan perjalanan panjang seorang akademisi yang teguh menjaga api ilmu. Pada 23 Oktober 2025 lalu, Dr. Mochamad Sodik, S.Sos., M.Si., Wakil Rektor II Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, resmi menyandang gelar Guru Besar dalam bidang Sosiologi Gerakan Keagamaan.

Bagi banyak orang, gelar Guru Besar adalah puncak karier akademik. Namun bagi Prof. Sodik, panggilan akrabnya, itu bukan sekadar penghargaan, melainkan tanggung jawab moral untuk menjaga martabat ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.

“Guru Besar bukan soal jabatan tertinggi, tapi tentang amanah menjaga cahaya ilmu agar tetap menyala bagi masyarakat,” ujarnya pelan, dengan nada yang lebih menyerupai refleksi ketimbang kebanggaan.

Benih Ilmu dari Tanah Kediri

Lahir di Kediri, Jawa Timur, Prof. Sodik tumbuh dalam lingkungan religius yang menanamkan nilai kesederhanaan dan kecintaan pada ilmu. Sejak muda, ia gemar membaca dan berdiskusi tentang agama dan masyarakat — dua bidang yang kelak mewarnai seluruh perjalanan akademiknya.

Perjalanannya menapaki dunia perguruan tinggi dimulai di Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga pada 1987. Namun, dorongan intelektualnya membawanya lebih jauh — ke dunia Sosiologi di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1989. Di sana, ia menemukan cara baru membaca agama bukan hanya lewat teks suci. Tapi juga melalui kehidupan sosial masyarakat yang dinamis.

Dua disiplin ilmu — syariah dan sosiologi — berpadu dalam dirinya, membentuk cara pandang khas - "Melihat agama sebagai kekuatan sosial yang hidup dan bergerak di tengah masyarakat."

Ketika menempuh studi doktoralnya di Sosiologi UGM, Prof. Sodik memilih tema yang tidak mudah. Ia menulis disertasi berjudul “Melawan Stigma Sesat: Strategi Jamaah Ahmadiyyah Indonesia (JAI)” (2015).

Penelitiannya bukan sekadar akademik, tapi juga saksi empati terhadap kelompok yang kerap disalahpahami.

“Meneliti Ahmadiyyah bukan perkara sederhana. Tapi saya belajar bahwa ilmu harus berani menyapa yang disingkirkan, bukan hanya mengulang yang populer,” kenangnya. Dengan tiga promotor — Prof. Dr. Susetiawan, Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah, dan Prof. Dr. Khoirudin Basyori — ia menapaki jalur ilmiah yang sulit namun jujur. Karya ini kelak dikenal luas sebagai referensi penting dalam kajian agama dan masyarakat minoritas di Indonesia.

Sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (2016–2024), Prof. Sodik dikenal membangun atmosfer akademik yang ramah dialog dan terbuka lintas disiplin. Di bawah kepemimpinannya, FISHUM tumbuh menjadi laboratorium gagasan. Tempat mahasiswa, dosen, dan peneliti berdialog tanpa sekat antara teks dan konteks, agama dan realitas.


Prof. Dr. Mochamad Sodik (tiga dari kanan) bersama empat dosen UIN Sunan Kalijaga penerima KMA Guru Besar Rumpun Ilmu Agama

Kini, sebagai Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan, dan Keuangan, ia memikul tanggung jawab yang lebih luas: memastikan seluruh ekosistem kampus berjalan dalam semangat integritas, transparansi, dan kemajuan bersama.

Kepada para dosen muda, Prof. Sodik memberi pesan sederhana namun mendalam. “Ada empat hal yang harus dijaga jika ingin menapaki jalan Guru Besar — motivasi diri yang kuat, ekosistem akademik yang sehat, perencanaan karier yang matang, dan evaluasi kinerja tridarma yang berkelanjutan.”

Ia meyakini, ilmu hanya akan bermakna jika tumbuh di ekosistem yang saling mendukung, bukan dalam kompetisi yang saling menyingkirkan.

Selain mengajar dan meneliti, Prof. Sodik dikenal produktif menulis. Buku-bukunya seperti “Gejolak Santri”, “Mencairkan Kebekuan Fiqih: Membaca KHI”, dan “Gender Best Practice” menunjukkan perhatiannya pada isu sosial dan keagamaan yang aktual.

Tulisan-tulisannya menggambarkan sosok akademisi yang berusaha menjembatani tradisi keilmuan Islam dengan dinamika masyarakat modern.

Api Ilmu yang Tak Pernah Padam

Kini, setelah resmi menyandang gelar Guru Besar, Prof. Sodik memilih untuk tidak berhenti di puncak. Ia justru semakin yakin bahwa perjalanan seorang ilmuwan tak pernah selesai.

“Setiap generasi punya tugas menjaga api ilmu. Kalau bukan kita yang terus menyalakannya, siapa lagi?” katanya dengan senyum kecil — senyum yang menggambarkan kelegaan sekaligus kesadaran akan tanggung jawab yang baru dimulai.

Dengan gaya kepemimpinan yang tenang, visi yang jernih, dan semangat kemanusiaan yang kuat, Prof. Dr. Mochamad Sodik bukan hanya menambah daftar Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, tetapi juga menjadi teladan tentang bagaimana ilmu harus terus hidup — di hati, di kampus, dan di tengah masyarakat. (Yuliantoro)

BACA JUGA

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1











Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close