iklan



FOKUS

Semoga Purbaya Tidak "Kakehan Gludug Kurang Udan"


 Oleh: Yuliantoro

Suara Purbaya Yudhi Sadewa menggelegar seperti petir di langit kekuasaan Jakarta. Setiap kalimatnya tegas, blak-blakan, mengguncang telinga para birokrat yang terbiasa dengan basa-basi politik. Sejak duduk di kursi Bendahara Negara, ia tampil bukan sebagai pejabat berhitung aman, tetapi sebagai pemimpin yang ingin menandai perubahan arah pengelolaan keuangan negara—cepat, keras, dan tanpa kompromi.

Dalam hitungan minggu, ia langsung meluncurkan gebrakan yang mengguncang status quo. Menyalurkan Rp200 triliun dana pemerintah yang selama ini “nganggur” di Bank Indonesia untuk menggerakkan ekonomi, menolak kenaikan cukai rokok, membuka peluang penurunan PPN, menghapus utang kecil di bawah Rp1 juta agar rakyat bisa mengakses KPR, hingga menegaskan akan memburu pengemplang pajak senilai Rp200 triliun. Ia juga membuka kotak pengaduan publik yang langsung dibanjiri ribuan laporan, dan dengan lantang menyatakan, “Saya tidak akan melindungi pegawai nakal.”

Langkah-langkah itu disambut publik bak angin segar. Seolah inilah “pembersih” yang selama ini ditunggu—pejabat yang bicara lantang, tanpa tedeng aling-aling. Namun di balik gemuruh petir itu, muncul pertanyaan, apakah suara keras ini akan benar-benar menurunkan hujan perubahan? Ataukah sekadar gegap gempita di langit birokrasi tanpa menyentuh tanah tempat rakyat berpijak?

Antara Gaya Galak & Ketegasan Sejati

Purbaya datang dengan gaya kepemimpinan yang “anti-protokoler”. Ia terbuka membahas subsidi energi, kompensasi Pertamina, hingga dana ratusan triliun yang mengendap di bank sentral. Ia menegaskan target pertumbuhan ekonomi 6–8 persen—sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto untuk menjadikan Indonesia kekuatan ekonomi baru Asia.

Namun bangsa ini sudah sering punya pejabat yang keras di permukaan. Tri Rismaharini dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) misalnya, kerap tampil heroik di media, galak, emosional, bahkan viral karena menegur anak buah di depan kamera. Tetapi setelah sorotan kamera padam, hasilnya bagi rakyat kecil tak selalu nyata.

Ilmuwan politik Merilee S. Grindle (2012) menyebut fenomena semacam itu sebagai performative governance—pemerintahan yang tampak tegas di permukaan, tetapi tak menyentuh struktur di dalam. Tegasnya hanya visual, bukan sistemik. Maka ketegasan Purbaya perlu diuji - apakah ia membangun sistem, atau hanya menguasai panggung?

Keteladanan Sunyi: Artidjo dan Lopa

Bangsa ini sebenarnya telah memiliki teladan pejabat yang bekerja senyap namun berbuah nyata. Artidjo Alkostar  dan Baharuddin Lopa adalah dua di antaranya.

Artidjo tak pernah viral, tapi setiap putusannya mengguncang ruang sidang koruptor. Ia menjatuhkan vonis berat tanpa pandang bulu—bahkan terhadap teman se almamater sendiri. Ia adalah simbol bahwa integritas tak perlu mikrofon.

Sementara Baharuddin Lopa, ketika menjabat Menteri Kehakiman, bekerja dengan disiplin dan keheningan. Ia tak berpidato keras, tapi membangun sistem hukum yang bersih melalui keteladanan pribadi. Sejarawan hukum Daniel Lev (1978) menyebut figur seperti mereka sebagai moral bureaucrats—pejabat yang menjadikan keadilan dan moralitas sebagai energi birokrasi. Keduanya tidak mencari sorotan, melainkan kepercayaan publik. Dan justru karena diam itulah, hasil kerja mereka terasa.

Menguji Konsistensi Purbaya

Kini, publik menaruh harapan besar pada Purbaya. Ia dianggap sebagai pejabat jujur yang tak tunduk pada oligarki lama. Media sosial menjadikannya simbol baru perlawanan terhadap “bandit politik” dan “rampok uang negara”. Namun di titik inilah ujian sesungguhnya dimulai.

Jika benar ingin menegakkan transparansi fiskal, langkah paling konkret adalah menggelar audit total BUMN dan lembaga pemerintah dengan auditor independen, serta mempublikasikan hasilnya secara terbuka. Bukan audit internal yang manipulatif, tapi audit publik yang dapat diakses rakyat.

Penelitian Transparency International (2024) mencatat, 80 persen praktik korupsi di sektor publik Indonesia bersumber dari “informasi fiskal yang tertutup”—ruang gelap yang tak tersentuh publik. Jika Purbaya berhasil menembus ruang itu, ia bukan sekadar Bendahara Negara, melainkan reformer sejati dalam sejarah fiskal Indonesia.

Kakehan Gludhug, Kurang Udan

Pepatah Jawa “kakehan gludhug, kurang udan” berarti banyak petir, sedikit hujan—banyak bicara, minim hasil. Pesan moral ini relevan bagi pejabat yang sibuk bersuara namun miskin kerja nyata. Sebaliknya, “udan deres ora muni”—hujan deras tanpa suara—adalah simbol kerja yang yang senyap tapi produktif.

Ekonom Joseph Stiglitz (2015) menulis dalam The Great Divide bahwa negara yang ingin tumbuh adil tak butuh pejabat yang menebar sensasi, melainkan pemimpin yang mengembalikan fungsi negara kepada rakyat melalui kebijakan yang efektif dan transparan. Indonesia tak kekurangan petir. Yang kita butuhkan adalah hujan yang menumbuhkan—kebijakan yang menyejukkan kehidupan rakyat, bukan sekadar pidato yang memekakkan telinga.

Bangsa ini sedang berdiri di persimpangan antara harapan dan skeptisisme. Setelah lama dipimpin oleh pejabat yang pandai berbicara namun miskin tindakan, rakyat kini menuntut pembuktian nyata. Apakah Purbaya akan menjadi hujan yang menyuburkan tanah keadilan dan kesejahteraan? Atau sekadar petir yang berlalu, menyisakan langit birokrasi yang makin suram oleh gema suaranya sendiri?

Sejarah menunggu jawabannya. Dan rakyat—sebagaimana selalu—hanya ingin satu hal, "pemerintah yang benar-benar bekerja, bukan yang hanya terdengar." ***

*) penulis lepas - alumni Sosiologi UGM

Referensi:

1. Grindle, Merilee S. (2012). Jobs for the Boys: Patronage and the State in Comparative Perspective. Harvard University Press.

2. Lev, Daniel S. (1978). Legal Evolution and Political Authority in Indonesia. University of Hawaii Press.

3. Transparency International. (2024). Global Corruption Report: Southeast Asia Edition. Berlin.

4. Stiglitz, Joseph E. (2015). The Great Divide: Unequal Societies and What We Can Do About Them. W. W. Norton & Company.

5. Bank Indonesia. (2023). Laporan Perekonomian Indonesia. Jakarta: BI Publishing.


BACA JUGA

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1











Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close