Kerajinan Perak Kotagede Di Ujung Tanduk
Harga Perak Meroket, Produksi Lumpuh, Pengrajin Menjerit
GUGAT news,com JOGJAKARTA
Kerajinan perak Kotagede, simbol kebanggaan Yogyakarta yang selama puluhan tahun menjadi warisan ekonomi dan budaya, kini menghadapi ancaman paling serius dalam sejarahnya. Lonjakan harga bahan baku yang tak terkendali membuat roda produksi berhenti, beberapa toko online tutup, dan para pengrajin kelimpungan.
“Sejak saya mulai tahun 1986, baru kali ini saya merasa masa paling berat,” ujar Priyo Salim, pemilik Salim Silver Jewelry di Kebohan, Purbayan, Kotagede, saat ditemui di bengkelnya, Sabtu (19/10/2025).
Dari ruang kerjanya yang sunyi, Priyo menunjukkan catatan harga yang membuat dahi berkerut. Januari 2025 harga perak masih Rp15 juta per kilogram. Kini, Oktober 2025, sudah menembus Rp29 juta. “Naiknya hampir 100 persen hanya dalam enam bulan. Dan yang lebih parah, barangnya pun tidak ada,” ujarnya dengan nada getir.
Kenaikan harga perak berlangsung hampir setiap bulan. Februari naik menjadi Rp16 juta/kg, Maret Rp17 juta, Mei Rp18 juta, Juni Rp20 juta, September Rp24 juta, dan kini Oktober Rp29 juta/kg. “Kalau begini terus, pengrajin tidak bisa bertahan,” katanya.
Krisis ini membuat pengrajin kehilangan kemampuan untuk berproduksi. Harga jual produk naik drastis, sementara konsumen menolak membayar lebih. “Banyak pesanan dibatalkan. Para pengrajin akhirnya berhenti kerja. Tidak ada order tidak ada bahan, tidak ada jalan keluar,” tutur Priyo.
Di sisi lain, para pedagang bahan baku juga memilih menahan stok karena takut rugi. “Begitu mereka jual, harga naik lagi. Akhirnya semua berhenti di titik yang sama - tidak ada yang berani bergerak,” ujarnya.
Pukulan Ganda dari Industri Global
Krisis bahan baku ini tidak berdiri sendiri. Secara global, perak menjadi komoditas strategis untuk industri mobil listrik, panel surya, dan perangkat elektronik. Permintaan dunia melonjak tajam, sementara pasokan stagnan.
“Sekarang investor besar ikut bermain, menimbun perak karena tahu harganya akan naik. Kita yang pengrajin kecil di Kotagede hanya bisa gigit jari,” jelas Priyo.
Warisan Budaya yang Terancam Jadi Slogan
Ironisnya, perak Kotagede sudah lama ditetapkan pemerintah sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Namun bagi Priyo, penghargaan itu kini terasa hambar. “Kalau cuma dijadikan jargon politis, apa gunanya? Pemerintah bangga menyebutnya warisan adiluhung, tapi ketika bahan baku lenyap, siapa yang turun tangan?” katanya tegas.
Menurutnya, pemerintah sering kali berhenti pada seremonial, mengajak pameran, membuat festival, tapi tak menyentuh akar persoalan. “Kami diajak pameran ke luar negeri, tapi bahan baku tidak ada dan kualitas produksi tidak memenuhi standar internasional. Itu sama saja bohong,” ujarnya tajam.
Solusi Setengah Hati Tidak Akan Menyelamatkan
Priyo menilai, penyelamatan industri perak tidak bisa dilakukan secara tambal sulam. Persoalan bahan baku, permodalan, teknik produksi, dan pemasaran harus diselesaikan secara menyeluruh. “Kalau pemerintah hanya urus satu sisi, misalnya cuma bantu promosi, ya percuma. Yang dibutuhkan adalah ekosistem industri yang utuh. Dari bahan, alat, sampai pasar,” paparnya.
Tanpa langkah konkret, kata Priyo, kerajinan perak Kotagede akan tinggal cerita. “Sekarang saja banyak toko tutup. Pengrajin beralih profesi. Kalau dibiarkan, 5–10 tahun lagi perak Kotagede cuma akan jadi sejarah di buku pelajaran,” ujarnya lirih.
Menunggu Keberpihakan Negara
Di tengah keterpurukan itu, harapan Priyo sederhana, yaitu kehadiran nyata pemerintah. Bukan dengan wacana, tapi kebijakan yang berpihak. “Selamatkan perak Kotagede bukan dengan seremoni. Kami butuh bahan, akses modal, dan pelatihan yang realistis. Kalau tidak, warisan ini akan hilang,” tutupnya.
Dari bengkel-bengkel tua di gang sempit Kotagede, suara palu perak kini kian jarang terdengar. Di antara tumpukan alat yang mulai berdebu, hanya tersisa satu harapan: agar tangan-tangan pengrajin yang melahirkan keindahan dari logam mulia itu tidak berhenti selamanya. (Tor)