Keadilan, Keseimbangan dan Tantangan Keberagaman Kita
GUGAT news.com JOGJAKARTA
"Setiap orang pada dasarnya ingin menjadi pribadi sukses. Agar kesuksesan bermakna perlu ditopang dengan nilai-nilai spiritualitas, kemanusiaan, dan penghargaan terhadap kelestarian lingkungan." Pesan tersebut termaktub pada halaman depan buku Merawat Indonesia "Refleksi dan Proyeksi" karya Prof. Dr. Mochamad Sodik S.Sos., M.Si.
Pesan itu menjadi landasan reflektif yang dijelaskan langsung oleh penulis dalam acara Launching dan Bedah Buku Merawat Indonesia "Refleksi dan Proyeksi" yang digelar di Omah PMII Jaranan, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, Kamis (25/13/25). Acara ini juga dihadiri oleh Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Noorhaidi Hasan, S.Ag., M.A., M.Phil., Ph.D., sesepuh UIN Sunan Kalijaga Prof. Dr. Hj. Ema Marhumah, M.A., serta tokoh dan kader PMII Daerah Istimewa Yogyakarta, civitas akademika UIN Sunan Kalijaga, dan para kolega Prof. Mochamad Sodik.
Dalam paparannya, Prof. Sodik menegaskan bahwa kesuksesan yang tidak berakar pada nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan justru berpotensi melahirkan krisis sosial dan ekologis. "Manusia sering terjebak pada pencapaian pragmatis tanpa kesadaran etik yang utuh."
Terdapat tiga hukum yang seharusnya menjadi pedoman kehidupan manusia, yakni hukum Tuhan, hukum alam, dan hukum sosial. Ketiganya, kata dia, meskipun dimaknai dan dialami manusia dalam ruang interpretasi yang berbeda, sejatinya harus bermuara pada satu tujuan utama yaitu keadilan dan keseimbangan.
“Ketika hukum Tuhan dipisahkan dari kesadaran ekologis, atau hukum sosial dilepaskan dari nilai keadilan, maka yang lahir adalah ketimpangan dan kerusakan,” lanjutnya.
Prof. Sodik juga mengkritisi praktik keberagamaan yang menurutnya kian problematik. Ia menilai, dalam sejumlah konteks, agama justru direduksi menjadi instrumen legitimasi moral. Alih-alih menjadi kekuatan etik untuk mencegah bencana sosial dan ekologis, agama kerap dipakai untuk membenarkan praktik-praktik yang sejatinya merusak.
“Yang seharusnya dihindari adalah bencananya, tetapi yang terjadi justru negosiasi moral dengan bungkus kemaslahatan. Padahal substansinya tetap bermasalah”.
Dalam logika semacam itu, bahasa kebaikan berubah menjadi selubung etis yang memutihkan praktik destruktif. Jika pola ini terus dinormalisasi, yang lahir bukanlah toleransi publik yang autentik, melainkan ilusi moral kolektif yang diproduksi dan direproduksi secara sistematis.
"Peluncuran buku ini diharapkan menjadi ruang refleksi kritis bagi masyarakat luas, khususnya kalangan akademisi dan aktivis, untuk kembali menautkan kesuksesan personal dan pembangunan nasional dengan nilai keadilan sosial serta keberlanjutan lingkungan", Prof Sodik mengakhiri paparannya. (***)






