Mengayuh Melawan Korupsi, Menjaga Nurani Indonesia
GUGAT news.com
Hujan turun nyaris sepanjang perjalanan. Jalanan basah, kabut tipis menggantung di perbukitan, dan jarak ratusan kilometer membentang dari Yogyakarta menuju Wonosobo lalu kembali lagi. Namun bagi lima penggowes yang tergabung dalam komunitas Gowes Happy SelJum, hujan bukan alasan untuk berhenti. Justru di tengah cuaca yang tak bersahabat itulah, mereka mengayuh dengan satu tekad: mengampanyekan gerakan anti korupsi dari jalanan, dari masyarakat, dari nurani.
Safari bersepeda bertajuk Tour de Wonosobo yang berlangsung Minggu–Senin, 14–15 Desember 2025, tidak sekadar perjalanan fisik. Ia adalah perjalanan moral. Momentum Hari Anti Korupsi Sedunia (9 Desember) dijadikan pijakan untuk menyuarakan pesan bahwa melawan korupsi bukan hanya tugas negara, melainkan panggilan semua warga.
Dipimpin oleh Hary Sutrasno, bersama Effendi, Wintono, Ahmad Riyatno, dan Waluyo, rombongan ini mengayuh sepeda bukan demi prestasi, bukan pula demi sensasi. Mereka membawa spanduk, brosur, dan satu pesan sederhana namun mendalam: Indonesia yang sehat hanya mungkin lahir dari kejujuran.
“Korupsi di negeri ini sudah berada pada tahap mengerikan. Ia mengakar, menyebar, dan merusak hampir semua sendi kehidupan,” ujar Hary Sutrasno di sela perjalanan. “Lewat safari bersepeda ini, kami ingin ikut menjadi bagian dari masyarakat sipil yang menyerukan penyehatan Indonesia.”
Di Yogyakarta, budaya bersepeda memang kembali menggeliat. Setiap pagi dan sore, jalan-jalan kota dipenuhi pesepeda lintas usia. Namun kebanyakan gowes berhenti pada urusan rekreasi dan kesehatan pribadi. Tour de Wonosobo memilih melangkah lebih jauh: menjadikan sepeda sebagai medium advokasi sosial.
Ketua misi, Effendi, menegaskan bahwa bersepeda bagi komunitasnya adalah bentuk syukur atas nikmat sehat. “Kali ini kami ingin kesehatan itu melampaui tubuh kami sendiri. Kami ingin negeri ini juga sehat,” katanya. Penyakit kronis bangsa—korupsi—menjadi sasaran kayuhan mereka.
Sepanjang rute menuju Wonosobo yang melewati kawasan wisata Candi Borobudur, pesan anti korupsi disambut hangat. Di warung-warung tempat rombongan beristirahat, brosur dibaca dengan antusias. Spanduk yang dibentangkan menarik perhatian wisatawan dan warga. Tidak ada pidato panjang, tidak ada mimbar megah—hanya dialog sederhana, dari hati ke hati.
Sambutan serupa terjadi dalam perjalanan pulang. Di Masjid Al Manshur, Wonosobo, jamaah tak hanya menyimak, tetapi ikut memberi dorongan moral. KH Ahmad Chaedar Idris, pengasuh Pondok Pesantren Al Manshur, mengingatkan bahwa perjuangan melawan korupsi memang panjang dan berat, namun harus terus dijalani. “Jangan lupa juga amal-amal konkret di sekitar kita—menyantuni anak yatim dan kaum lemah,” pesannya.
Di Masjid Raya Darussalam, Temanggung, dialog singkat kembali menguatkan pesan bahwa korupsi bukan sekadar kejahatan hukum, melainkan kejahatan kemanusiaan. Hary Sutrasno mengurai dampaknya dengan lugas: meningkatnya kemiskinan, ketimpangan, pengangguran, merosotnya layanan publik, hingga naiknya angka kematian ibu dan anak. “Korupsi membuat hidup
semakin mahal dan semakin jauh dari jangkauan orang miskin,” tegasnya.
Lebih dari sekadar kampanye moral, para penggowes ini juga mengingatkan bahwa masyarakat memiliki peran hukum. Berdasarkan PP Nomor 43 Tahun 2018, warga yang membantu pencegahan dan pengungkapan tindak pidana korupsi berhak atas perlindungan dan penghargaan dari negara. Melawan korupsi bukan tindakan sia-sia; ia dijamin oleh hukum.
Tour de Wonosobo akhirnya sampai di garis akhir, tetapi pesannya tidak berhenti di sana. Di tengah pesimisme publik terhadap pemberantasan korupsi, lima pesepeda ini menghadirkan harapan kecil namun nyata: perlawanan bisa dimulai dari hal sederhana, dari tubuh yang bergerak, dari keberanian bersuara.
Sepeda mereka mungkin tak mengubah sistem dalam sekejap. Namun setiap kayuhan adalah pengingat bahwa bangsa ini masih memiliki warga yang peduli, yang mau basah oleh hujan, lelah oleh tanjakan, demi satu cita-cita bersama: Indonesia yang bersih, adil, dan bermartabat.
Kadang, perubahan besar memang tidak lahir dari ruang rapat berpendingin udara. Ia lahir dari jalanan, dari peluh, dan dari keberanian mengayuh melawan arus. (Tor)






