Batik Doa Yang Menyala Di Atas Kain
BJ Arifin dan Upaya Menyimak Bisikan Semesta Lewat Warna
GUGAT news.com BANTUL
Bagi BJ Arifin, batik bukan sekadar warisan leluhur yang dijaga. Ia adalah bahasa semesta, cara alam berbicara kepada manusia. Di tangannya, kain menjadi ruang doa. Setiap garis malam, setiap semburat warna, adalah bisikan rahasia dari alam raya yang tak berhenti berbicara.
“Kalau manusia berhenti mendengar, biarlah saya yang berbicara lewat warna,” ujarnya pelan di rumahnya di Pedukuhan Salakan, Bangunjiwo, Bantul. Di halaman yang rimbun oleh jati dan mahoni itu, ia menghabiskan hari-hari dengan kuas, canting, malam, dan kain—sebuah perbincangan sunyi antara perupa dan alam semesta.
Arifin lahir di Genteng, Banyuwangi, tahun 1965. Sejak kecil, dunia warna sudah memikatnya. Salah satu lukisan masa SD-nya pernah terjual Rp5.000—jumlah besar bagi anak desa di awal 1980-an. Tahun 1985, dengan bekal uang yang sama, ia menumpang bus ke Yogyakarta. Ia diterima di SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa), dan di kota inilah jalan seninya terbuka.
Sambil belajar, ia membuat batik lukis yang dijual ke Batik Kelik, Karangkajen. Dari sinilah ia memahami bahwa batik bukan hanya keterampilan, tapi proses yang menuntut kesabaran, keheningan, dan perasaan. “Kalau tidak sabar, batik akan menolakmu,” ujarnya.
Setelah lulus pada 1989, Arifin memilih melanjutkan hidup di jalur batik lukis, bukan kuliah. Keputusan itu membawanya ke perjalanan panjang, dari pasar lokal hingga menembus Eropa
dan Amerika lewat jalur fair trade. Tahun 2000 ia berpameran di Belanda. Lukisan-lukisannya yang didominasi warna merah disebut memberi energi hangat, bahkan digunakan untuk terapi. Tahun 2017 ia berpameran tunggal di Prancis, menampilkan karya hitam-putih yang mencerminkan keseimbangan antara gelap dan terang.
Menulis Cahaya di Atas Gelap
Di antara perupa batik lain, BJ Arifin menempuh jalan berbeda. Ia tidak memulai dari kain putih, tetapi dari warna hitam. “Hitam itu awal kehidupan. Dari sana cahaya tumbuh.”
Filosofi itu membentuk identitas batiknya. Garis-garis hitam tegas, warna-warna kuat, dan kontras tajam antara gelap dan terang. Ia tidak sekadar menggambar motif, melainkan membangun ruang batin di atas kain. Baginya, setiap karya adalah percakapan antara alam dan manusia, antara keindahan dan luka.
Dalam prosesnya, Arifin terlibat penuh dari awal hingga akhir. Mulai mencuci kain, mencelup, mengeringkan, hingga merendamnya dalam water glass agar warna tak mudah luntur. Ia menyebut setiap tahap itu sebagai laku hidup. “Batik adalah meditasi. Di dalamnya ada sabar, rasa, dan kejujuran,” katanya.
Ketekunan itu melahirkan karya-karya yang kuat dan bertenaga. Batik lukisnya bisa menembus harga belasan juta rupiah. Namun bagi Arifin, nilai sejati bukan pada angka, melainkan pada jiwa yang ia tanam di setiap helai kain.
Sejak 1995, Arifin tinggal di atas tanah seluas 1.500 meter persegi di Bangunjiwo. Di tempat itu ia membangun rumah sekaligus galeri, ruang kerja. dan taman kecil yang rindang. Ia menamainya Bangun Jiwa—nama yang diberikan sahabatnya, penyair Sitok Srengenge, dan kini menjadi bagian dari identitasnya "BJ Arifin".
Ruang pamer berukuran 7 x 14 meter di rumahnya mampu menampung sekitar 60 karya. Dindingnya dipenuhi lukisan dan kain batik berwarna tegas. Di sudut ruang, tergeletak kain setengah jadi dengan garis hitam yang baru disapukan malam. Di sinilah, kata Arifin, semua energi bekerja: “Kadang saya merasa bukan saya yang melukis. Alam yang menuntun.”
Di sela berkarya, ia menyesalkan kemunduran batik di Yogyakarta. “Ironis, di kota yang disebut pusat budaya, semangat membatik justru meredup,” ucapnya. Karena itu, lewat karya-karyanya, ia berusaha menghidupkan kembali roh batik—bukan sekadar motif dan warna, tapi juga laku batin di baliknya.
Batik sebagai Cermin Kehidupan
Karya-karya BJ Arifin tidak berhenti pada keindahan visual. Ia menyelipkan pesan ekologis dan spiritual. Di antara warna-warna hangat, kerap muncul goresan gelap—simbol luka alam, polusi, deforestasi, dan kerakusan manusia. “Saya tidak ingin hanya menghadirkan yang indah. Setiap warna adalah peringatan - lembut tapi tegas.”
Dalam pandangannya, manusia bukan penguasa alam, melainkan bagian dari semesta. Maka batik baginya menjadi cermin kehidupan. Tentang bagaimana manusia semestinya menjaga keseimbangan, mendengar kembali bisikan bumi, air, dan udara yang kian lelah.
Karya terbarunya berjudul Dialog (150 x 90 cm, 2025) melanjutkan gagasan itu. Ia menggambarkan pertemuan manusia dengan alam, bukan sebagai pertentangan, tapi percakapan. “Dialog itu penting. Kalau manusia berhenti berdialog dengan alam, dunia akan kehilangan warna,” katanya.
Dari Gelap Menuju Terang
Kini, di usia yang melewati enam puluh tahun, BJ Arifin tetap setia di jalan batik. Rambutnya mulai memutih, tapi matanya masih menyala setiap kali bicara tentang warna. Ia seperti tak pernah lelah mengolah kain, seolah tahu bahwa setiap helai batik adalah potongan waktu yang tak bisa diulang.
“Batik mengajarkan saya bahwa hidup tidak bisa di-repeat. Apa yang sudah kita sapukan hari ini, tak akan sama jika diulang besok," paparnya.
Kalimat itu seolah merangkum seluruh perjalanannya—dari Banyuwangi ke Yogyakarta, dari warna hitam menuju cahaya. Dalam batik, ia menemukan hidup - proses yang tidak terburu-buru, penuh keheningan, dan selalu mengandung makna baru.
Dan di antara warna-warna itu, semesta berbisik lembut. Mungkin benar, seperti yang diyakini BJ Arifin, bahwa setiap kain batik sejatinya adalah doa yang menyala di atas kehidupan. (Yuliantoro)