iklan



FOKUS

Buku Adalah Pondasi Peradaban Bangsa, Saatnya Negara Galakkan Gerakan Literasi


 Para narasumber dan moderator. dari kiri ke kanan Bpk Arfi Bambani (moderator), Ibu Okky Madasari, Ibu Irene, dan Bpk Buldan

GUGAT news.com

Buku bukan hanya benda mati berisi huruf dan kalimat. Ia adalah napas kebangsaan, denyut peradaban, sekaligus cermin kemanusiaan. Dari buku, bangsa bisa mengenali dirinya sendiri. Dari literasi, lahir kesadaran untuk menjadi bangsa yang berdaulat atas pikiran.

Pesan itu mengemuka dalam Diskusi Publik “Buku Sebagai Dasar Pembangunan Jati Diri Bangsa” yang digelar di Ruang Literasi Kaliurang, Jumat (24/10/2025). Acara ini menjadi salah satu agenda penting dalam rangkaian kegiatan literasi kebangsaan yang diselenggarakan bersama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Dalam pidato kuncinya, Ibu Halida Nuriah Hatta—putri proklamator yang juga pegiat literasi kebangsaan—menegaskan bahwa buku adalah alat perjuangan yang tak kalah penting dari senjata.

“Buku adalah jendela untuk memahami dunia, cermin untuk merefleksikan identitas, dan pembuka mata hati. Bangsa tanpa literasi adalah bangsa tanpa arah,” ujarnya penuh penekanan.

Diskusi yang menghadirkan sejumlah tokoh lintas bidang itu menghadirkan pembicara utama: Okky Madasari, Ph.D. (penulis dan pegiat literasi), Buldanul Khuri (penggerak literasi Yogyakarta), serta Dr. Irene Camelyn Sinaga, A.P., M.Pd. (Direktur Pengkajian Implementasi BPIP).

Dalam paparannya, Okky Madasari menepis stigma klasik bahwa masyarakat Indonesia malas membaca.

“Masalah kita bukan minat baca, tapi akses terhadap buku berkualitas yang masih sangat terbatas. Orang ingin membaca, tapi tak punya tempat untuk menemukan buku yang mencerahkan,” ujarnya.

Penyerahan cinderamata dari Ibu Irene mewakili BPIP kepada Bpk Buldan

Ia menegaskan perlunya kehadiran negara yang serius membangun infrastruktur literasi dari perpustakaan desa yang hidup hingga kebijakan harga buku yang terjangkau.

Hidupkan Ekosistem Buku, Bukan Industri

Sementara itu, Buldanul Khuri, tokoh penting dalam dunia perbukuan Yogyakarta, menyoroti lemahnya ekosistem industri buku nasional.

“Kalau ingin literasi hidup, hidupkan dulu ekosistemnya—penulisnya, penerbitnya, toko bukunya, dan pembacanya. Tanpa itu, buku hanya jadi simbol yang sunyi di rak-rak toko,” katanya.

Buldanul juga mengingatkan bahwa tantangan terbesar bukan sekadar menjual buku, tetapi menjadikan buku sebagai kebutuhan dasar masyarakat, bukan barang mewah.

Dari perspektif kebijakan publik, Dr. Irene Camelyn Sinaga menegaskan pentingnya pemerataan distribusi buku.

“Kita bicara jati diri bangsa, tapi bagaimana mungkin literasi tumbuh kalau buku tak pernah sampai ke pelosok? Distribusi buku bermutu harus menjadi agenda nasional,” tegasnya.

Ia menilai BPIP berkomitmen untuk memperkuat program literasi kebangsaan sebagai bagian dari penguatan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan dan kehidupan sosial.

Peserta  dan narasumber foto bersama usai diskusi

Hapus Pajak Buku

Diskusi publik yang dihadiri para pemangku kepentingan dunia perbukuan—mulai dari penulis, editor, penerbit, pemilik toko buku, hingga komunitas sastra—menghasilkan sejumlah rekomendasi penting.

Beberapa di antaranya adalah penghapusan pajak bagi penulis dan komponen industri buku, penambahan kegiatan membaca dan menulis sebagai ekstrakurikuler wajib di sekolah, serta penyelenggaraan festival membaca di setiap daerah.

Menanggapi berbagai usulan tersebut, Willy Aditya, Ketua Komisi XIII DPR RI yang menggagas revisi UU No. 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, menyambut positif seluruh masukan yang muncul.

“Kita perlu menyadari, rute perbaikan UU ini panjang dan berliku. Tapi kalau semua pihak ikut mendorong, perubahan itu niscaya,” ujar Willy.

Ia mengajak seluruh pelaku industri perbukuan untuk aktif dalam proses revisi undang-undang, agar kebijakan literasi nasional tidak hanya berhenti di wacana, tapi menjadi gerakan kebangsaan yang hidup.

Diskusi di Kaliurang itu berakhir dengan satu kesadaran bersama: buku adalah pondasi peradaban bangsa. Ia tidak hanya mencetak pengetahuan, tetapi membentuk karakter, imajinasi, dan kemanusiaan.

Dan seperti yang diingatkan oleh Halida Hatta,

“Bangsa besar bukan yang kaya sumber daya, tapi yang kaya gagasan. Dan gagasan hanya lahir dari kebiasaan membaca dan menulis.”

Diskusi ini diharapkan menjadi momentum lahirnya gerakan literasi kebangsaan yang berkelanjutan. Sebab, membangun bangsa tanpa buku ibarat membangun rumah tanpa fondasi, berdiri sebentar, lalu roboh dalam kebodohan. # TOR







BACA JUGA

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1











Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close