Maklumat Kotagede : Seniman Serukan Kebudayaan Jadi Pilar Kelima Pembangunan Nasional
Ketua Koseta DIY Sigit Sugito bersama 17 seniman saat mendeklarasikan maklumat Kotagede
GUGAT news.com JOGJAKARTA
Dari tanah tua Kotagede, tempat lahirnya Mataram Islam, tujuh belas seniman dan budayawan Yogyakarta menandatangani sebuah maklumat penting bagi arah kebudayaan nasional. Mereka menamainya Maklumat Kotagede - Prasetya Tujuh Jati Diri Kebudayaan, yang lahir dalam Kongres Seniman dan Budayawan yang diselenggarakan oleh KOSETA DIY pada Jumat (17/10/2025) pukul 17.17 WIB.
Ketua KOSETA DIY, Sigit Sugito, mengatakan maklumat ini merupakan seruan moral dan spiritual di tengah kian tergerusnya nilai-nilai budaya akibat arus digital dan pasar bebas.
“Kami menyerukan agar kebudayaan ditetapkan sebagai pilar kelima pembangunan nasional. Tanpa budaya, pembangunan hanyalah tubuh tanpa jiwa,” tegasnya dalam siaran pers nya Rabu (22/10/25).
Para seniman berkumpul di Kotagede bukan sekadar untuk berdiskusi, tetapi untuk melakukan tirakat batin. Mereka menyebut Kotagede sebagai Candi Nurani — ruang hening tempat mengendapkan kesadaran dan menimbang ulang arah peradaban.
Dalam pembuka maklumat, mereka menulis - “Kami bersimpuh di jantung sunyi Kotagede, poros memori Mataram. Zaman kini penuh keraguan, teknologi merobek selaput kesucian jiwa. Maka kami menyeru: pulihkan makna kebudayaan sebagai fondasi kemanusiaan.”
Maklumat ini menegaskan bahwa kebudayaan bukan hanya pelengkap pembangunan, melainkan fondasi moral bangsa. Ia lahir dari keprihatinan atas hilangnya rasa, etika, dan kedalaman rohani dalam kehidupan sosial modern.
Sapto Hudoyo: Tujuh Laku Kebudayaan
Dalam dokumen itu, para seniman merumuskan tujuh laku budaya atau Sapto Hudoyo — jalan sunyi untuk mengembalikan kesadaran etis dan estetik dalam kehidupan berbangsa.
Prasaja Algoritma – Menghidupkan kembali Aksara Kawi, Jawa Kuno, dan aksara Nusantara sebagai sumber logika dan kode digital, agar teknologi berakar pada nilai dan rasa Nusantara.
Yogyakarta sebagai Ibu Kota Kebudayaan
Menjadikan Yogyakarta laboratorium kebudayaan nasional, sesuai status keistimewaannya dan sejarahnya sebagai poros peradaban Jawa.
Jaminan Kemerdekaan Cipta – Memperjuangkan penghasilan dasar universal bagi seniman dan pekerja budaya sebagai investasi strategis peradaban.
Memulihkan Pusaka Jati – Mengubah situs, artefak, dan ruang budaya terbengkalai menjadi pusat aktivitas kreatif dan tirakat.
Benteng Sosial Koperasi Budaya – Menggeser ekonomi kreatif menuju model koperasi yang berkeadilan, berbasis gotong royong dan rasa kemanusiaan.
IKON (Institut Koperasi Nusantara) – Membentuk pusat pertukaran pengetahuan adat dan validasi pengetahuan ekologis untuk memperkuat ekonomi berkelanjutan.
Dharma Dewan Wasita – Membangun dewan budaya yang visioner, bebas dari birokrasi, dan berfungsi sebagai penjaga arah etik serta ruang dialog budaya.Menurut Sigit Sugito, ketujuh prasetya ini bukan sekadar gagasan teknis, tetapi tirakat peradaban.
“Kami ingin mengembalikan kebudayaan ke pusat kesadaran. Ini bukan urusan administratif, tapi urusan jiwa bangsa. Kalau ekonomi jasadnya, budaya adalah napasnya,” ujarnya.
Kotagede dipilih sebagai lokasi kongres karena memiliki makna simbolik. Di tempat itulah dulu Mataram memulai babak kejayaan rohaninya. Kini, di tempat yang sama, para seniman berikhtiar menyalakan kembali api kesadaran budaya.
Maklumat tersebut juga menolak “dogma tunggal” yang lahir dari sistem modern yang meminggirkan cara-cara tradisional mengetahui. Para seniman menyerukan agar pengetahuan lokal, adat, dan nilai roso dihidupkan kembali sebagai sumber kebijaksanaan bangsa.“Kami menolak kemerosotan makna budaya yang mereduksi jiwa menjadi komoditas. Daya cipta murni adalah hak asasi batin,” tulis mereka dalam sumpah akhir maklumat.
Maklumat tersebut ditandatangani oleh 17 seniman dan budayawan Yogyakarta:
Nasruddin Anshory Ch., Taufiek Rahzein, Erwito Wibowo, Sigit Sugito, Priyo Salim, Joko Juniwarto, Supriyatno Sensa, Emha Irawan, Devi Kusumawardhani, Agung Jaker, Danuri, Slamet Widodo, Edi Prasetya, May May, Yani Sapto Hudoyo, Sri Wahyuningsih, dan Bambang Haryana.
Mereka menyebut diri Sang Pewaris Waskita — para penjaga kebijaksanaan yang berkomitmen untuk menjaga nurani bangsa di tengah perubahan zaman. Sumpah Kebudayaan
Dalam bagian penutup maklumat, mereka menegaskan “Kami bersumpah bahwa kebudayaan adalah akar dari segala kemerdekaan dan keadilan sosial sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945. Kami akan menjembatani etika dan estetika agar manusia tak kehilangan makna.”
Sigit Sugito menutup kongres dengan kalimat yang menggema: “Kami tidak sedang menulis sejarah, kami sedang menghidupkan kembali nurani bangsa. Saatnya seniman menjadi penuntun, bukan penonton, dalam perjalanan peradaban.”
Maklumat Kotagede bukan hanya dokumen, melainkan seruan jiwa. Ia mengajak bangsa ini melambat untuk memahami, hening untuk mendengar, dan mencipta untuk memulihkan. Dari Kotagede, gema kebudayaan itu berangkat —menuju resonansi dunia. (Tor)