Perlunya Memobilisasi Sarkasme
Oleh Aprinus Salam
Salah satu hal yang perlu dimobilisasi dalam kehidupan sosial adalah apa yang saya sebut sebagai narasi sarkasme. Narasi sarkasme adalah politik narasi yang mencampurkan logika secara kontradiktif sehingga mengondisikan pengonsumsinya untuk memeriksa logika apa yang ada di balik narasi tersebut.
Untuk menjelaskan situasi tersebut saya akan sedikit menyinggung cerpen Seno Gumira Ajidarma. Hal tersebut dikarenakan dialah salah satu cerpenis yang paling handal dalam meramu sarkasme. Sarkasme adalah semacam narasi yang dimaksudkan untuk menyindir, mencemooh, sekaligus ada nuansa getir dan lucu di dalamnya.
Suatu narasi sarkas tidak dimaksudkan untuk meruntuhkan narasi dominan. Akan tetapi, narasi sarkasme akan mengelitik logika normatif dan dominan yang biasanya menghegemoni pemahaman umum.
Salah satu cerpen yang memiliki ketajaman sarkas adalah cerpen “Saksi Mata” (Ajidarama, Saksi Mata, 1994). Cerpen itu dibuka dengan kalimat “Saksi mata itu datang tanpa mata”. Diceritakan seorang saksi kekejaman perang yang matanya telah dicongkel oleh sekelompok orang, dan harus menjadi saksi, menjadi saksi apa yang telah dilihatnya.
Terdapat beberapa hal yang kontradiktif. Pertama, apakah kesaksiannya hanya berlaku sepanjang saksi sempat dan bisa melihat. Persoalannya, bagaimana dengan semua peristiwa yang tidak bisa dia lihat? Apakah kesaksiannya tidak berlaku?
Kedua, apakah orang yang tidak bisa melihat tidak bisa menjadi saksi mata. Bagaimana dengan kesaksian pendengaran? Apakah kesaksian pendengaran tidak berlaku?
Ketiga, cerpen itu sebenarnya ingin menyindir, sekaligus mentertawakan, bahwa banyak rakyat yang tidak tahu apa-apa harus menanggung derita akibat perang yang tidak jelas dan tidak ada juntrungnya. Namun, siapa yang bisa diminta bertanggung jawab?
Keempat, cerpen itu juga menyindir masyarakat, tidak adakah orang lain yang bisa bersaksi bahwa seorang yang telah dicongkel matanya itu justru dijadikan bukti bahwa telah terjadi kejahatan dalam perang. Bukan menjadi saksi atas kehilangan mata itu sendiri? Kenapa harus menjadi saksi mata buat matanya yang telah hilang?
Cerpen lain misalnya, “Bunyi Hujan di Atas Genting” (Ajidarma, Penembak Misterius, 1993). Cerpen itu dibuka dengan kutipan berikut. ““Ceritakanlah padaku tentang ketakutan,” kata Alina pada juru cerita itu. Maka juru cerita itu pun bercerita tentang Sawitri:”
Dalam cerita itu dikisahkan ketika masyarakat mengalami ketakutan siapa lagi yang akan di-“petrus” kan oleh kekuasaan, Alina cemas siapa lagi mayat yang dihanyutkan arus kali, apakah dia laki-laki bertato atau tidak. Perhatiannya justru ada atau tidak adanya tato.
Yang membuat cerita memiliki kadar “kelucuan yang pahit”, yakni ketika Sawitri mementingkan dan fokus adakah laki-laki itu memiliki tato atau tidak. Hanya itu yang ia perhatikan, yang lain tidak menarik perhatiannya. Seseorang bisa menjadi egois di tengah ketakutan massal.
Kisah seperti itu memang menjadi salah satu pola yang dikembangkan Ajidarma. Dia memberi pemahaman bahwa strategi naratif sarkasme bisa membawa kita untuk mempersoalkan banyak hal. Ketika masyarakat ketakutan siapa lagi yang akan dibunuh, Savitri, tokoh cerita, ketakutan membayangkan cintanya akan kandas jika kekasihnya ikut terbunuh.
Pada tataran karya sastra, Ajidarma memperlihatkan bahwa strategi naratif sarkasme bersifat memencar ke segala arah. Ia menyindir siapa saja yang bersalah. Sastra bisa membolak-balik mana yang pantas dan tidak pantas. Sastra bisa memberi informasi mana yang penting dan tidak penting.
Sastra bisa menceritakan mana hal besar dan kecil sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan. Hal itu mengajarkan kepada kita bahwa setiap orang memiliki kebenaran, kepentingan, dan kelayakannya sendiri-sendiri.
Ngono yo ngono, ning aja ngono. Sarkasme mengkritisi kita semua. Kita perlu lebih banyak memproduksi dan mengonsumsi sarkasme, agar pikiran kita selalu terjaga dan waspada.





