Wong Jowo Ilang Jawane

Juli 29, 2021
Kamis, 29 Juli 2021


   Ki Jliteng Suparman

GUGAT news.com

Salah satu karakter wong Jawa yang memang belum tentu dimiliki oleh banyak suku bangsa lain adalah sifat perilakunya yang luwes, fleksibel, adaptatif. Gampang melebur dan membaur dengan lingkungan baru. Maka persebaran wong Jawa secara geografis sangat luas karena keberadaannya yang akseptabel.

Fleksibelitas tersebut di satu sisi menguntungkan di sisi lain merugikan. Keluwesan wong Jawa menguntungkan pada aspek survival sebagai entitas individu, merugikan pada aspek identitas kultural sebagai entitas sosial-budaya. 

Ki Jliteng Pakeliran Kampung Sebelah

Maka kerugian terbesar dari fleksibelitas wong Jawa yakni pada dimensi kebudayaan. Sulit baginya untuk mempertahankan identitas kulturalnya, mengingat dalil ‘melebur’ adalah melepas sebagian identitas yang membatasi proses peleburan. 

Semakin besar upaya untuk luwes terhadap lingkungan maupun perubahan baru maka akan semakin banyak identitas kebudayaan yang harus direlakan untuk ditanggalkan. Maka menjadi masuk akal ketika sedari awal sudah muncul ungkapan bernada kecemasan: ‘wong Jawa ilang jawane’.

Kalau boleh bilang, potensi keluwesan wong Jawa saat ini memang sudah sangat tidak terkontrol. Relitas membuktikan, sebagai sebuah entitas suku bangsa ia paling cepat mengalami kehilangan identitas kulturalnya dibanding dengan entitas suku bangsa lain. 

Bisa pesan ke Ibu Gina Marlia 082136563959

Keluwesan pada hematnya secara dimensional terbagi menjadi dua, yakni proses yang disebut adaptatif dan adaptif. Adaptatif yakni proses penyesuain diri dengan hal-hal di luar dirinya sehingga terjadi penyelarasan sikap dan tindakan atau perilaku (aktualisasi). Adaptif yakni penyerapan nilai-nilai dari luar sehingga terjadi penyelarasan atau penerimaan di alam kesadarannya (internalisasi).

Dari dua dimensi keluwesan itulah wong Jawa paling gampang mengalami perubahan ‘njaba-njero’. Dimensi potensi yang paling besar membawa kerugian bagi identitas kulturalnya adalah potensi adaptifnya. Ini yang kemudian berakibat fatal ‘wong Jawa ngemohi jawane’ orang Jawa yang menolak atau mengingkari ke-Jawa-annya.

Tetap waspada Corona masih ada

Potensi adaptif pada dasarnya baik karena dari padanya pola kesadaran manusia menjadi dinamis, terbuka terhadap hal-hal baru sehingga terjadi transformasi kesadaran (intelektual, emosional, spiritual).

Potensi adaptif bukan tanpa resiko. Ketika tak terfilter atau tak terkontrol akan berubah menjadi adoptif, telan mentah-mentah. Proses penyerapan tanpa dialektika melainkan langsung diterima tanpa syarat. Yang terjadi bukan transformasi kesadaran melainkan transmutasi kesadaran. 

Saat ini kecenderungan wong Jawa tidak lagi mengembangkan sistem kesadarannya agar senantiasa selaras dengan perjalanan zaman, melainkan mengubah atau mengganti sistem kesadaran kejawaannya dengan sistem kesadaran baru sehingga berakibat kehilangan identitas di tengah perjalanan zaman.

Kecenderungan yang sedang menggejala sekarang bukan transformasi kesadaran melainkan transmutasi kesadaran. Pintunya ada dua: sistem ilmu-pengetahuan dan sistem keyakinan (agama). 

Sistem ilmu-pengetahuan wong Jawa sekarang sudah terputus dengan sistem ilmu-pengetahuan rumusan bangsa sendiri selama berabad-abad, tergantikan oleh sistem ilmu-pengetahuan globalisme.

Sistem keyakinan wong Jawa juga semakin terputus dengan sistem keyakinan religius yang dikembangkan oleh bangsa sendiri selama berabad-abad, tergantikan oleh sistem keyakinan (agama) yang semakin terjebak profanisme atas nama kemurnian ajaran.

Sistem keyakinan religius konon targetnya kembalinya manusia kepada kesempurnaan abadi (kasampurnan) “asal saka ora ana bali marang ora ana, bali marang mula-mulanira” (innalillahi wainnailaihi rojiun). Sistem keyakinan profan konon targetnya kenikmatan abadi yang disebut surga. 

Secara terminologis ada perbedaan konsepsi target capaian. Perbedaan terminologis ini sangat mendasar menentukan perbedaan perilaku. Agama religius terminologi dasarnya “rahsa” (kemurnian roh abadi), agama profan terminologi dasarnya “rasa” (kenikmatan roh abadi). Profan di sini artinya lebih tebal atau mengutamakan pendekatan rasional atau akal, hayatan-hayatan religius sangat tipis.

Huruf akasara Jawa

Itulah lebih kurang akar mendasar problem kebudayaan yang tengah dihadapi oleh bangsa Jawa sebagai bagian dari bangsa Nusantara maupun bangsa dunia yang sesungguhnya oleh Tuhan diberi hak bahkan kewajiban untuk beridentitas agar saling mengenal sehingga terjadi harmoni kehidupan. 

Harmoni adalah keindahan yang muncul oleh keserasian alunan banyak nada, bukan hanya satu nada. Sebagaimana keindahan dunia ini bukan karena berpermukaan rata melainkan oleh ketidakteraturan permukaan yang tertata, ada tinggi-rendah dataran maupun panas-dingin cuaca.

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat Simbol Budaya Jawa.

           °°°°°°✓ 081325995968 °°°°°°




Thanks for reading Wong Jowo Ilang Jawane | Tags:

Next Article
« Prev Post
Previous Article
Next Post »

TERKAIT

Show comments

HOT NEWS