Apakah Pemilu Mendatang Layak Dipercaya?

Desember 08, 2022
Kamis, 08 Desember 2022

 


GUGAT news.com

APAKAH PEMILU MENDATANG LAYAK DIPERCAYA?

Oleh : Jlitheng Suparman

Sosialisme menghasilkan keadilan namun gagal menghadirkan kesejahteraan. Liberalisme menghasilkan kesejahteraan namun gagal menghadirkan keadilan. Pancasila berupaya mengambil jalan tengah dari dua paham politik berbeda itu: bagaimana agar hak individu terpenuhi dan di sisi lain keadilan juga terwujudkan. Lebih-kurang demikianlah landasan pikir para pendiri bangsa dalam merumuskan Pancasila sebagai landasan filosofi politik penyelenggaraan Negara Indonesia.

Pancasila mengakomodir semangat liberalisme menjamin hak-hak individu dalam berkesejahteraan, berekspresi maupun berkeyakinan agar tidak terpangkas oleh kendali kekuasaan pemerintahan dengan atas nama kebersamaan. Di sisi lain Pancasila juga mewadahi semangat sosialisme dalam mewujudkan keadilan, negara berkewajiban mengatur agar semangat liberalisme tidak berujung _“survival of the fittest”_ atau hukum rimba. 

               Ki Jlitheng Suparman 

Pancasila dengan konsep musyawarah dan perwakilan merupakan jembatan mempertemukan sosialisme dengan liberalisme. Musyawarah merupakan perangkat untuk mempertemukan atau mengkompromikan perbedaan hasrat dan aspirasi setiap individu. Perwakilan merupakan perangkat untuk merumuskan sekaligus memperjuangkan hasrat dan aspirasi setiap individu tersebut. 

Pancasila dengan sistem musyawarah dan perwakilan memberi peluang bagi liberalisme dan sosialisme untuk bekerja di dalam satu ruang tanpa saling menegasi. Itulah maka banyak orang menilai dan meyakini bahwa Pancasila merupakan “isme” masa depan yang akan mengakhiri sengketa antara sosialisme dan liberalisme. 

Makanku Makanan Sehat Siap Saji Masa Kini 

Pancasila sila ke empat yang melahirkan sistem Majelis Permusyawaratan Rakyat, pada hematnya merupakan sistem kerakyatan (demokrasi) yang bukan sebatas melayani kebenaran pikiran (teoretik), namun juga melayani dimensi praksis. Praktek demokrasi menjadi efisien dan efektif dalam berbagai aspek berkorelasi dengan realitas obyektif Indonesia sebagai negara berwilayah sedemikian luas dan berpenduduk sedemikan besar.

Jika dilihat dengan cermat, Pancasila sebagai landasan sistem demokrasi khas Indonesia pada dasarnya belum pernah dipraktekkan seutuhnya selama Indonesia merdeka. Era Orde Lama sebagai ruang transisi dari kondisi keterjajahan ke kemerdekaan masih disibukkan oleh dinamika politik menuju kemapanan situasi. Era Orde Baru di mana kondisi Indonesia relatif sudah stabil, Pancasila hanya diterapkan secara setengah-setengah oleh karena politik terbajak oleh otoritarianisme. Era Reformasi Pancasila justru semakin menguap oleh karena politisi dan intelektual Indonesia terkesima oleh propaganda demokrasi liberal.

Pada era Reformasi semakin nyata sistem demokrasi liberal menggilas habis prinsip musyawarah dan perwakilan. Walaupun masih ada Lembaga yang menggunakan kata Perwakilan (Dewan Perwakilan Rakyat), namun pada prakteknya sama sekali tidak ada keterwakilan rakyat. Trias politika yang semestinya menjadi alat kepentingan kerakyatan, berubah total menjadi alat kepentingan kekuasaan/penguasa dan kapitalis. Rejim Indonesia berubah menjadi oligarkis perpaduan dua kartel politik dan ekonomi. Rejim Reformasi sudah bukan lagi rejim demokrasi melainkan rejim oligarki “penguasa yang pengusaha”, dalam istilah kerennya disebut “rejim senyawa oligarki politik dan pemburu rente”.

Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai representasi praktek demokrasi dalam memilih orang-orang yang harus duduk di kursi penyelenggara negara, semakin jauh dari semangat Pancasila dengan prinsip musyawarahnya. Penyelenggaraan Pemilu seutuhnya menganut sistem demokrasi liberal dengan prinsip _one man one vote_. Ekses negatifnya yang justru menguat sehingga praktek penyelenggaraan Pemilu kemudian memperlihatkan demokrasi tiga wajah: elektoralisme, prosedural dan transaksional.

Pemilu berwajah demokrasi elektoralisme, kedaulatan rakyat direduksi maknanya menjadi sebatas angka. Suara rakyat hanya dimaknai sebatas angka pemenangan seorang kandidat, bukan sebagai _“voice”_ yang mesti didengar dan diletakkan sebagai materi dalam pembuatan kebijakan. Sebuah praktek kedaulatan rakyat yang semu. Rakyat berdaulat hanya selama sepuluh detik saat berada di bilik suara. Selebihnya kedaulatan beralih ke tangan pemenang pemilu dengan oligarki di belakangnya. Oleh karenanya mentradisi politik _“wani pira”_. Jual beli suara rakyat bukan lagi menjadi rahasia. Mayoritas rakyat yang kondisi dan kesadarannya cenderung terbatas sedemikian rela kedaulatannya dibeli senilai kertas.

l

Pemilu berwajah demokrasi prosedural, yakni pencalonan eksekutif maupun legislatif tidak memberlakukan persyaratan etik-moral melainkan hanya memberlakukan persyaratan administratif dan ketentuan prosedural normatif. Seburuk apa pun rekam jejak seorang calon tidak menghalangi pencalonannya selama syarat-syarat administratif terpenuhi. Penjahat, penipu, mantan terpidana korupsi, dan sebagainya tetap dapat mencalonkan diri selama memegang surat rekomendasi dari Ketum Parpol dan mengikuti tahapan-tahapan prosedural.

Demokrasi transaksional yakni bahwa kapabelitas dan integritas seorang calon bukan lagi menjadi syarat penting dalam pencalonan eksekutif maupun legislatif. Syarat paling menentukan adalah kemampuan finansial yang dimiliki bakal calon. Faktor-faktor pengalaman berpolitik, pengalaman berorganisasi, moralitas, intelektualitas dan kecakapan-kecakapan lain tidak lagi menjadi variable penting sebagai syarat pencalonan. Siapa pun ketika mampu membeli rekomendasi dan berkontribusi mencukupi kebutuhan parpol niscaya lolos masuk ke ruang kontestasi.

Kali Pepe Land Destinasi Wisata di Desa Banaran Gagaksipat Ngemplak Boyolali 

Praktek demokrasi liberal dengan kelindan elektoralisme, prosedural, dan transaksional menjadi pintu bagi kapitalis, atau akrab disebut cukong, untuk bermain. Para cukong dalam dan luar negeri berkomplot membentuk oligarki. Dengan kekuatan uangnya, oligarki bukan hanya medukung modal bagi para calon, namun juga membeli seluruh infrasruktur Pemilu. Infrastruktur pemilu, seperti: Parpol, KPU, Bawaslu, perusahaan survei, media massa, aparat keamanan (TNI/Polri), dan lembaga penegak hukum lainnya, semuanya berada di bawah kendali oligarki dalam mengatur jalannya pemilu hingga merekayasa pemenang.

Dari alur penyelenggaraan pemilu sebagaimana terurai di atas, muaranya sangat jelas dan tak terbantahkan lagi bahwa rejim pemerintahan Indonesia berada di bawah bayang-bayang kendali oligarki. Sistem, struktur dan kinerja kelembagaan negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif tidak bisa lepas dari bayang-bayang kepentingan oligarki. Campur tangan oligarki di dalam penentuan komposisi DPR, komposisi kabinet, dan pemegang jabatan strategis lembaga-lembaga negara mustahil dapat dihindari. Dari itu maka hak prerogatif Presiden hanya tertera dalam kalimat undang-undang, pada prakteknya dalam penyusunan kabinet Presiden tak mampu mengelak dari tekanan dan campur tangan parpol pengusung dan oligarki. Bagi-bagi kursi.

Sudah tidak bisa dipungkiri lagi bahwa seluruh sistem dan struktur pemerintahan kesemuanya berada di bawah hegemoni oligarki. Kebijakan negara dalam bentuk undang-undang, program pembangunan, penegakan hukum dan sebagainya nyaris kesemuanya niscaya cenderung diperuntukkan melayani kepentingan oligarki. Teramat kecil atau bahkan tertutup sama sekali peluang rejim pemerintahan Indonesia untuk melayani kepentingan rakyat maupun negara. Itulah pasal yang melatari munculnya ungkapan “nasib rakyat digadaikan, nasib negara diperjual-belikan”.

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa siapa pun pemenang pemilu 2024 yang akan datang, tetaplah proxy oligarki. Kalaupun ada yang bilang sosok kandidat “A” anti oligarki, masihkah percaya? Hanya keledai yang terperosok dua kali di lobang yang sama.

Nah. Pertanyaan mendasarnya, masihkah Pemilu yang akan datang layak dipercaya? Terus solusinya gimana? Tidak ada jalan lain selain pergantian rejim secara ekstra konstitusional, revolusi. Hanya revolusi yang dapat merebut dan menutup akses oligarki terhadap struktur, infrastruktur dan suprastruktur negara agar kemudian kesemuanya kembali seutuhnya ke tangan rakyat.  

Salam Nusantara Bangkit









Thanks for reading Apakah Pemilu Mendatang Layak Dipercaya? | Tags:

Next Article
« Prev Post
Previous Article
Next Post »

TERKAIT

Show comments

HOT NEWS